A.
PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik
berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang
lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat,
keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja
dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu
bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di
antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik
dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi
benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent),
bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Demonstrasi
yang dilakukan untuk menentang kebijakan negara adalah salah satu bentuk
perbedaan pendapat dan kepentingan antara kelompok masyarakat dengan negara
atau dengan kelompok lainnya. Fenomena ini termasuk dalam kategori konflik,
walaupun tidak mengarah kepada pertentangan fisik. Konflik juga dimaknai
sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain
telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara
negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan
belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak
memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996). Tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Konflik bisa terjadi karena hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki
tujuan-tujuan yang tidak sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003). Sedangkan White
& Bednar (1991) mendefinisikan konflik sebagai suatu interaksi antara
orang-orang atau kelompok yang saling bergantung merasakan adanya tujuan yang
saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan
itu. Jika tindakan seseorang individu untuk memenuhi dan memaksimal kan
kebutuhannya menghalangi atau membuat tindakan orang lain jadi tidak efektif
untuk memenuhi dan memaksimalkan kebutuhan orang tersebut, maka terjadilah
konflik kepentingan (conflict of interest) (Deustch dalam Johnson &
Johnson, 1991). Cassel Concise dalam Lacey (2003) mengemukakan bahwa konflik
sebagai “a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest,
opinion or purposes; mental strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan
penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan, suatu benturan; suatu
pergulatan; pertentangan kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan;
pergulatan mental, penderitaan batin. Konflik adalah suatu pertentangan yang
terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain,
orang dengan kenyataan apa yang diharapkan (Mangkunegara, 2001). Konflik juga
merupakan perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak (two parties)yang
ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu
dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya (Wexley &Yukl,
1988). Gambar 6.2 di bawah ini adalah salah satu contoh konflik yang sesuai
dengan pendapat di atas, yaitu ketika apa yang diharapkan oleh suporter
persebaya agar kesebelasan kesayangannya menang tidak terwujud, akibatnya dia
melakukan berbagai tindakan penyerangan kepada siapa saja, termasuk kepada
aparat keamanan.
Pertentangan
dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni
ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain
itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing
pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo
dan Supriyanto, 2003). Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik,
Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai
konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di
dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi
saling memusuhi (mutualy opposing actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung
menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”.
Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan
yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi
dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam
pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001). Konflik dalam pengertian yang luas
dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang bersifat
berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya, 1986). Konflik adalah relasi-relasi
psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa
dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur
nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis
mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan
halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan
terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Konflik dapat dikatakan
sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang,
kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai
macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan
perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker & Wilmot
(1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an
expressed struggle betwen at least two interdependent parties who perceive
incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in
achieving their goals”. Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain
jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing
menyadari adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan
ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara
dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum
mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai
pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak
lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih
penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang
kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar. Konflik muncul
diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang duduk
sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah satu
pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu
maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik
saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku
pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan
karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama
ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz (dalam
Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal
yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa
dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya
membawa dampak-dampak yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk
perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk
perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung satu sama
lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok, kelangkaan sumber
daya dan hambatan yang didapat dari pihak lain dalam mencapai tujuannya.
Konflik
pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu tidak ada
masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956) menyatakan: konflik
dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau
dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem
sosial yang dapat dimengerti (Poloma, 1994). Karena konflik merupakan bagian
kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat
yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap masyarakat tunduk pada
proses perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana; (2) setiap masyarakat
memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana; (3)
setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan
perubahan; (4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah
kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya. Coser (1956) mengutip hasil
pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat
meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan
keutuhan dan keseimbangan. Coser menyatakan bahwa masyarakat yang terbuka dan
berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan
membahayakan konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya
dengan membiarkan konflik itu berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak
mendasar (Poloma, 1994). Dengan demikian berarti, konflik yang menyentuh
nilai-nilai inti akan dapat mengubah struktur sosial sedangkan konflik yang
mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah pinggiran tidak akan sampai
menimbulkan perpecahan yang dapat membahayakan struktur sosial. Cobb dan Elder
(1972) mengungkapkan adanya tiga dimensi penting dalam konflik politik: (1)
luas konflik; (2) intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik,
menunjuk pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan
menunjuk pula pada skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal, konflik
etnis, konflik nasional, konflik internasional, konflik agama dan sebagainya).
Intensitas konflik adalah luas-sempitnya komitmen sosial yang bisa terbangun
akibat sebuah konflik. Konflik yang intensitasnya tinggi adalah konflik yang
bisa membangun komitmen sosial yang luas, sehingga luas konflikpun mengembang.
Adapun ketampakan konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat
di luar pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi.
Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala peristiwa
konflik itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh masyarakat secara
luas. Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan rendah manakala konflik
itu terselimuti oleh berbagai hal sehingga tingkat kesadaran dan pengetahuan
masyarakat luas terhadap konflik itu sangat terbatas. Pandangan tradisional
tentang konflik mengandaikan konflik itu buruk, dipandang secara negatif, dan disinonimkan
dengan istilah kekerasan (violence), destruksi, dan ketidakrasionalan demi
memperkuat konotasi negatifnya. Konflik adalah merugikan, oleh karena itu harus
dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa kini melihat konflik merupakan
peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok dan organisasi. Dalam interaksi
antara manusia, konflik tidak dapat disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada
kalanya konflik dapat bermanfaat pada kinerja kelompok. Berdasarkan pendekatan
interaksionis memandang konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif,
tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, kaum
interaksionis mendorong pemimpin suatu kelompok apapun untuk mempertahankan
suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik, sehingga cukup untuk membuat
kelompok itu hidup, kritis-diri dan kreatif. Perlu ditegaskan, bahwa pendekatan
interaksionis tersebut tidak berarti memandangan semua konflik adalah suatu hal
yang baik, tetap memandang konflik adalah suatu hal yang tidak baik. Kaum
interaksional memandang ada konflik yang mendukung tujuan kelompok dan
memperbaiki kinerja kelompok, biasa disebut dengan konflik fungsional,
sedangkan ada konflik yang menghalangi kinerja kelompok atau yang disebut
dengan konflik disfungsional atau destruktif.
B.
SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik
yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu
beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk
dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada
kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian
halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber
konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber
konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita
tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah
sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya
rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut:
(1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti
kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3)
persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika
sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu
penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul
(Johnson & Johnson, 1991). Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu
konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang
dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapatSuatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Baron
& Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan
antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan
kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain: (1)
ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (2) hubungan
pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik; (3) sifat masalah
yang menimbulkan konflik; (4) lingkungan sosial tempat konflik terjadi; (5)
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (6) strategi yang biasa
digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik; (7) konsekuensi konflik terhadap
pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain; dan (8) tingkat
kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari
kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang menjadi penyebab konflik,
yaitu: (1) persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources), (2)
ketergantungan pekerjaan (task interdependence), (3) kekaburan bidang tugas
(jurisdictional ambiguity), (4) problem status (status problem), (5) rintangan
komunikasi (communication barriers), dan (6) sifat-sifat individu (individual
traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Sedangkan
Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan
dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak
lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2. Struktur: pertarungan kekuasaan antar
departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang
bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas,
atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja
untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau
nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada
jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda
pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam
organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2)
ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas (tidak ada
diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5) perbedaan dalam
memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7) sistem kompetensi
intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang tidak tepat. Berdasarkan
beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa
ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar
diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan,
nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu
misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber
daya yang ada.
Faktor Penyebab Konflik
a.
Perbedaan
individu
Perbedaan
kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik,
biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan
pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya
setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya,
ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada
pula yang merasa terhibur.
b.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan
hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang
lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi
formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia
industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan
membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi
upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan
tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
C.
BENTUK KONFLIK SOSIAL
Sasse
(1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style,
yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini
memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan
conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain.
Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai
situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu,
kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi
konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi
pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo
(1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi
empat, yaitu:
1. Konflik tujuanKonflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Dipandang
dari akibat maupun cara penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida,
1996) membedakan konflik dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif
dan konstruktif.
Konflik dipandang destruktif dan
disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar organisasi.
Berbeda
dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya
menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3)
konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan
(6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan
menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi),
misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran
(role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar
gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan
massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara). Hasil dari
sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama
anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2)
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada
individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya;
(4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan
penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk
hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar
yang terbaik.Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
D.
PROSES KONFLIK
Menurut
Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) oposisi atau
ketidakcocokan potensial; (2) kognisi dan personalisasi; (3) maksud; (4)
perilaku; dan (5) hasil. Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya
kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini
tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu
jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori:
komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan
alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi
berperan dalam menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur
juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi:
ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggotatujuan, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel
pribadi juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami
situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu
kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem
nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan
individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi
adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik
yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi
kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana
hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional
dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan
pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu
dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan
tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud
dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu: (1) bersaing, tegas dan tidak
kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri
sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam suatu episode
konflik; (2) berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing
berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif
dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak; (3) mengindar, bilamana
salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik
diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik; (4) mengakomodasi, bila satu
pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu
pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas
kepentingannya; dan (5) berkomromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing
pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya
masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat
an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan
ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham
kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan
menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan
suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi
kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terang
an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan
ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham
kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan
menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan
suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi
kinerja kelompok.
E. POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik
dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh
karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya,
bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik
berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah
pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika
konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan
(Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa
strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan
untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan
pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi
perubahan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang
pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara
yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik,
dalam hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge
dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi
(penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode penggunaan
paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat
diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing).
Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa
kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada
perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan
peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan
keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara
yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Menurutnya,
strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara: (1) dengan
paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan
paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan
reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan penundaan. Cara ini
bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut; (3) dengan bujukan.
Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga
perselisihan akan semakin tajam; (4) dengan koalisi, yaitu suatu bentuk
persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa
orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik konflik
sebuah ‘perang’; (5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak
menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal
penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi
korban konflik.
Strategi
yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1)
koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling
mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada
perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan mediasi
(perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing
pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara
jujur dan adil serta tidak memihak. Sedangkan strategi yang dipandang paling
efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan
pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks.
Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap; (2)
tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik,
untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar
pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau
suku bangsa tertentu.
Nasikun
(1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu
dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan
(arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud
melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang
dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat
hal: (1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan
dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti
hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian; (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan
bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan (4) lembaga tersebut harus bersifat
demokratis. Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa
kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak
kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud
bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga
yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik
terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara
perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk
menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan,
dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan
mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil
oleh pihak wasit.
Pola
penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan menggunakan strategi seperti
berikut: (1) gunakan persaingan dalam penyelesaian konflik, bila tindakan cepat
dan tegas itu vital, mengenai isu penting, dimana tindakan tidak populer perlu
dilaksanakan; (2) gunakan kolaborasi untuk menemukan pemecahan masalah
integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu penting untuk
dikompromikan; (3) gunakan penghindaran bila ada isyu sepele, atau ada isu
lebih penting yang mendesak; bila kita melihat tidak adanya peluang bagi
terpuaskannya kepentingan anda; (4) gunakan akomodasi bila diketahui kita
keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik didengar, untuk
belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran; dan (5) gunakan kompromis bila tujuan
penting, tetapi tidak layak mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih
tegas disertai kemungkinan gangguan.
1. Macam-macam Pola Pengelolaan Konflik
Menurut
penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitian-penelitian
mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang berbeda.
Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang dianggap paling
valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga cara; moving toward
others (mendapatkan dukungan), moving againts other (menyerang dan
mendominasi), dan
moving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut.
1. Deffering to status powermoving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut.
Individu dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan.
2. Applying regulations
Model ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota. Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang yang terlibat.
3. Integrating interest
Model ini menekankan pada perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masing-masing.
Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu:
1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)
Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.
2. Bentuk menang-kalah (persaingan)
Bentuk kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah.
3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)
Agak berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalah-pihak lain menang ini berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.
4. Bentuk menang-menang (kolaborasi)
Bentuk keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002).
Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah:
1. Integrating (menyatukan, menggabungkan)
Individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah.
2. Obliging (saling membantu)
Disebut juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri.
3. Dominating (menguasai)
Tekanan gaya ini adalah pada diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi. Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan.
4. Avoiding (menghindar)
Individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu.
5. Compromising (kompromi)
Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang.
Berbeda
dengan yang dikemukakan Johnson & Johnson (1991) bahwa strategi pengelolaan
konflik ada karena dipelajari, biasanya sejak masa kanak-kanak sehingga
berfungsi secara otomatis dalam level bawah sadar (preconscious). Tapi karena
dipelajari, maka seseorangpun dapat mengubah strateginya dengan mempelajari
cara baru dan lebih efektif dalam menangani konflik. Lebih lanjut Johnson &
Johnson (1991) mengajukan beberapa gaya atau strategi dasar pengelolaan
konflik, yaitu:
1.
Withdrawing (Menarik Diri). Individu yang menggunakan strategi ini percaya
bahwa lebih mudah menarik diri (secara fisik dan psikologis) dari konflik
daripada menghadapinya. Mereka cenderung menarik diri untuk menghindari
konflik. Baik tujuan pribadi maupun hubungan dengan orang lain dikorbankan.
Mereka menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik serta dari orangorang
yang terlibat konflik dengannya.
2.
Forcing (Memaksa). Individu berusaha memaksa lawannya menerima solusi konflik
yang ditawarkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting. Mereka menggunakan
segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli akan kebutuhan dan
minat orang lain, serta apakah orang lain itu menerima solusi mereka atau
tidak. Mereka menganggap konflik dapat diselesaikan dengan satu pihak yang
menang dan pihak yang lain kalah. Mereka mencapai kemenangan dengan jalan
menyerang, menghancurkan, dan mengintimidasi orang lain.
3.
Smoothing (Melunak). Individu yang menggunakan strategi ini berpendapat bahwa
mempertahankan hubungan dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan
dengan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ingin diterima dan dicintai. Mereka
merasa bahwa konflik harus dihindari demi keharmonisan dan bahwa orang tidak
akan dapat membicarakan konflik tanpa mengakibatkan rusaknya hubungan. Mereka
takut jika konflik berlanjut, maka orang lain akan kecewa dan ini menyebabkan
rusaknya hubungan. Mereka mengorbankan tujuan pribadinya demi mempertahankan
kelangsungan hubungan.
4.
Compromising (Kompromi). Strategi ini digunakan individu yang menaruh perhatian
baik terhadap pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Mereka
berusaha berkompromi, mengorbankan tujuannya sendiri dan mempengaruhi pihak
lain untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Mereka mencari solusi konflik
agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan, solusi pertengahan
antara dua posisi yang ekstrim.
5.
Confronting (Konfrontasi). Individu dengan tipe ini menaruh perhatian sangat
tinggi terhadap tujuan pribadi maupun kelangsungan hubungan dengan orang lain.
Mereka memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan solusi
terhadap konflik haruslah mencapai tujuan pribadinya sendiri maupun tujuan
orang lain. Konflik dipandang dapat meningkatkan hubungan dengan menurunkan
ketegangan antara dua pihak yang terlibat. Dengan solusi yang memuaskan kedua
belah pihak, mereka mencoba mempertahankan kelangsungan hubungan dapat
memuaskan baik mereka sendiri maupun orang lain. Klasifikasi-klasifikasi yang
diajukan beberapa ahli di atas, jika diperhatikan tidak benar-benar berbeda.
Perbedaan yang ada hanya pada istilah yang dipakai namun memiliki pengertian
yang hampir sama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola
Penyelesaian
Konflik
Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan
bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan
bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1) tercapainya
persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki
tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan
kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain; (2)
seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi
sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup
bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan
interaksi yang efektif selama beberapa waktu. Faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.
1. Kepribadian Individu Yang
Terlibat KonflikStenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.
Dari
karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada
need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need
for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order
(kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gayagaya pengelolaan
konflik yang membuat konflik melunak. Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada
need for autonomy (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for
change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih
paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin
intensif.
Menurut
Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang
terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan
agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif
dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola
penyelesaian konflik.
2. SituasionalAspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator.
3. Interaksi
Digunakannya
pendekatan disposisional saja dalam mencari pemahaman akan perilaku sosial
dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam
menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mempengaruhinya
determinan situasional dan disposisional.
4. Isu Konflik
Tipe
isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan
dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk
memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan
kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak
tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang cenderung
diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang tidak berhubungan
dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang
memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang. Pada umumnya, konflik
kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan
tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung
untuk membesar dan meluas. Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua
individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga
jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat
substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Robbins (1996)
mengungkapkan ada beberapa teknik yang bisa dijadikan acuan dalam pemecahan
konflik dan perangsangan konflik, seperti berikut.
No comments:
Post a Comment